Model Pengembangan Kelembagaan Kemitraan dan Pemasaran Temulawak di Kota Semarang
Abstract
Produk biofarmaka, yang salah satunya berasal dari tumbuhan, sangat berpotensi dalam pengembangan Industri Obat Tradisional (IOT) dan kosmetika di Indonesia. Penggunaan tumbuhan oleh IOT dimulai dengan memanfaatkan tumbuhan yang diperoleh dari hutan alam (hasil kegiatan ekstraktif) dan produk budidaya. Sebagai produk budidaya, sumber biofarmaka ini teknik budidayanya belum tertata dengan baik. Fakta ini memberikan peluang besar sekaligus tantangan untuk peningkatan sumbangan produksi dan produk olahan tanaman obat hasil budidaya. Kebutuhan akan biofarmaka untuk industri dalam negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 mencapai 6.813 ton, meningkat di tahun 2001 menjadi 7.170 ton, dan pada tahun 2002 peningkatan mencapai 8.104 ton. Peningkatan kebutuhan bahan baku ini berjalan seiring dengan meningkatnya jumlah industri jamu, farmasi dan kosmetika. Pada tahun 2000 kebutuhan tanaman temulawak (yang merupakan tanaman rimpang terbesar ke-3 setelah tanaman lempuyang dan jahe) untuk 5 (lima) industri jamu terbesar mencapai 38.600 kg/bulan atau 463.200 kg/tahun. Perkiraan WHO sekitar 14-28% dari 250 ribu jenis tumbuhan di dunia yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan obat tradisional. Strategi pengembangan agribisnis biofarmaka dapat mengambil bentuk pada pola-pola penumbuhan dan penguatan kelembagaan berbasis pada komunitas lokal/petani, utamanya bagi produk biofarmaka yang telah lazim dibudidayakan oleh masyarakat setempat, seperti temulawak, jahe dan sebagainya. Berbagai pola pengembangan agribisnis biofarmaka dapat dilakukan, umpamanya melalui pola kemitraan (partnership) yang mengintegrasikannya dengan perusahaan jamu skala besar (nasional) atau dengan kelembagaan sosial dan ekonomi lainnya. Peluang demand pasar bahan obat-obatan yang terus terbuka, diiringi dengan semakin banyaknya perusahaan yang masuk ke bidang pengolahan obat-obatan dan kosmetik berbahan baku biofarmaka, memberikan keadaan yang kondusif bagi perusahaan agribisnis biofarmaka atau petani biofarmaka untuk dapat meningkatkan pendapatan rumahtangganya. Kecamatan Tembalang dan Banyumanik merupakan dua kecamatan penghasil Temulawak khususnya dan rimpang umumnya di Kota Semarang. Tulisan ini bertujuan untuk: (1) menganalisis model pemasaran dan kelembagaan dalam memberdayakan petani temulawak yang telah ada di Kota Semarang, (2) mendeskripsikan tahapan kegiatan pengembangan dan pemberdayaan infrastruktur sosial ekonomi penopang kegiatan agribisnis temulawak yang telah ada dan dibutuhkan dalam membangun model pemasaran temulawak di Kota Semarang, dan (3) menganalisis jejaring usaha agribisnis temulawak di tingkat lokal-regional yang ideal dapat dilakukan oleh petani temulawak di Kota Semarang. Tulisan ini merupakan sebagian analisis yang didasarkan pada data penelitian lapangan tentang Model Kemitraan dan Pemasaran Terpadu Biofarmaka di Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah, yang dilakukan pada akhir tahun 2006
Published
2008-08-10
How to Cite
PurnaningsihN. (2008). Model Pengembangan Kelembagaan Kemitraan dan Pemasaran Temulawak di Kota Semarang. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 2(3). https://doi.org/10.22500/sodality.v2i3.5875
Section
Articles
Authors who publish with this journal agree to the following terms:
- Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this journal. - Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal.
- Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work (See The Effect of Open Access).