BEDAH BUKU : Teori Kekuasaan, Teori Sosial, dan Ilmuwan Sosial Indonesia

  • Ivanovich Agusta

Abstract

Upaya untuk menggabungkan pembahasan ketiga buku ini (Dhakidae, 2003; Stewart, 2001; Hadiz dan Dhakidae, eds, 2005) sekaligus didasari tiga kebutuhan berikut. Pertama, buku Stewart membahas perkembangan konsep kekuasaan (power) dari masa modernitas sampai masa modernitas akhir. State of the art tentang konsep kekuasaan ini bisa menjadi metode untuk menyoroti isi buku Dhakide serta Hadiz dan Dhakidae (eds.) secara lebih kritis. Dalam konteks ini, dari karya Stewart terutama akan diambil pelajaran tentang beragam konsep kekuasaan, bukan konsep kekuasaan menurut pandangan Stewart sendiri. Hal ini disebabkan, Stewart memposisikan dirinya dalam kelompok sosiolog modern, sementara saya lebih menyetujui posisi sosiolog pasca modern dalam menggunakan konsep kekuasaan. Dari sini mungkin akan tumbuh kritik pembacaan yang berbeda tentang perkembangan konsep kekuasaan, minimal dalam pembahasan tentang lokalitas dan kebutuhan suatu ketunggalan pandangan mendasar. Kedua, ketiga buku tersebut merupakan karya-karya ilmiah terbaru (di atas tahun 2000), sehingga sudah selayaknya dibedah lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan kritis tentang topik kekuasaan, perkembangan ilmu sosial, dan perkembangan posisi ilmuwan sosial (yang menjadi warganegara) Indonesia. Seorang kolega, ketika membicarakan buku Dhakidae serta Hadiz dan Dhakidae (eds.), berkata, ”Tanpa membaca kedua buku ini, kesimpulan umum dari keduanya sudah bisa kita ketahui atau kita ramalkan, yaitu bahwa ilmu sosial dan ilmuwan sosial dikoooptasi oleh kekuasaan negara. Tapi kita ingin mengetahui rincian argumen yang dibangun di dalamnya. Dan untuk itulah kita perlu membacanya secara detil”. Ketiga, saya khawatir penulisan buku Dhakidae serta Hadiz dan Dhakidae (eds.) masih dihinggapi oleh konsep modern tentang kekuasaan, yang mengimpitkan konsep kekuasaan itu dengan konsep dominasi. Mungkin ini didasari argumen, bahwa kondisi modernitas akhir (atau pascamodernitas) memang sudah terjadi di Eropa dan Amerika Serikat, namun belum terjadi di Indonesia. Menurut saya sendiri, argumen ini lemah, karena para penulis yang menjadi akademisi ini sudah merupakan sosok-sosok yang masuk ke dalam ruang dan waktu modernitas akhir (kelas menengah) di tengah-tengah masyarakat (terutama pedesaan dan wilayah terpencil) yang masih berkutat pada ruang dan waktu modernitas. Olah karenanya, saya masih heran membaca Dhakidae (2003) menggunakan juga kerangka teori modern, yaitu neofasisme, bersama-sama dengan arkeologi pengetahuan ala Foucaoult, untuk menganalisis posisi cendekiawan semasa Orde Baru. Dalam Hadiz dan Dhakidae (eds.), mungkin karena merupakan kumpulan tulisan dari banyak ilmuwan sosial dengan beragam posisi mazhab keilmuan, memang sudah ada yang menggunakan konsep kekuasaan ala modernitas akhir, misalnya pada Ariel Heryanto. Namun di sinipun, konsep kekuasaan masih dipraktekkan sebagai kekuasaan yang meliputi (power over) sesuatu atau seseorang, yang akan berujung pada konsep kekuasaan sebagai dominasi. Begitu pula Meutia Ganie-Rohman hendak mengemukakan resistensi ilmuwan sosial yang tergabung dalam LSM (lembaga swadaya masyarakat, NGO=non-government organization), namun di dalamnya kekuasaan tetap hanya diandaikan sebagai dominasi. Di dalam karya Stewart, definisi kekuasaan ini berada di sisi yang berlawanan (bahkan mungkin dianggapnya sudah ketinggalan jaman jika dirunut dari state of the art konsep kekuasaan) dari konsep kekuasaan sebagai pemberdayaan (empowerment). Pada konsep terakhir, muncul kekuasaan terhadap (power to) sesuatu atau seseorang, yang memungkinkan pemerdekaan diri (oleh lapisan bawah)
Published
2008-08-15
How to Cite
AgustaI. (2008). BEDAH BUKU : Teori Kekuasaan, Teori Sosial, dan Ilmuwan Sosial Indonesia. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 2(2). https://doi.org/10.22500/sodality.v2i2.5881
Section
Articles