OH-8 Penanggulangan Kasus Leptospirosis pada Ternak dengan Pendekatan One Health di Kabupaten Boyolali
Abstract
PENDAHULUAN
Kabupaten Boyolali merupakan daerah sentra ternak dan sebagian besar masyarakat mata pencahariannya beternak sehingga diperlukan pelayanan dan pengawasan kesehatan hewan yang lebih intensif. Keadaan ini dapat memacu pada potensi pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, namun perlu diperhatikan pula dampak negatif dengan adanya lalu lintas hewan/ternak yang keluar masuk Kabupaten Boyolali.
Adanya kemungkinan kejadian penyebaran penyakit hewan menular baik antar hewan sendiri maupun dari hewan ke manusia (zoonosis) bisa terjadi karena adanya hewan dari daerah yang tertular suatu penyakit masuk ke Kabupaten Boyolali ataupun penyebaran di dalam Kabupaten Boyolali itu sendiri.
Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 4 kabupaten di seluruh Indonesia yang menjadi pilot project program One Health dan merupakan suatu kegiatan yang meliputi komunikasi, kolaborasi dan koordinasi 3 sektor yaitu sektor kesehatan masyarakat, sektor kesehatan hewan dan sektor kesehatan satwa liar dalam hal penanganan kasus zoonosis dan PIB (Penyakit Infeksius Baru/Berulang) yang terjadi di Kabupaten Boyolali, dimana Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam penyakit hewan menular strategis yang bersifat zoonosis.
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral, tipis, lentur dan dengan panjan 10-20 mm dan tebal 0,1 mm serta memiliki dua lapis membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagellum periplasmik. Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Faine, 1982).
Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae, genus Leptospira. Leptospira dapat tumbuh di dalam media dasar yang diperkaya dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon dan garam amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat aerob (Adler, et al.,1986; Faine, 1982).
Di daerah tropis, wabah leptospirosis sering terjadi setelah banjir, bagai atau bencana lainnya. Angka insidensi leptospirosis di Negara beriklim tropis lebih tinggi daripada di Negara beriklim subtropis dan daerah beriklim dingin (Rocha, 2004). Menurut Fraga (2010) angka mortalitas leptospirosis di dunia melebihi 10% per tahun. Di Indonesia, wabah leptospirosis tahun 2002-2012 dilaporkan di beberapa provinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu dan Kepulauan Riau (Widarso, dkk, 2002)
Kasus Leptospirosis di awal tahun 2018 terjadi secara signifikan di Kabupaten Boyolali. Sejak awal tahun tercatat sebanyak 15 kasus terjadi dan 3 orang meninggal (20%).